Kehilangan Fatsun-sebagai wahana untuk introspeksi diri

Menarik sekali tulisan Pak Haedar Nashir di http://republika. co.id/koran/0/14228.html Minggu, 16 November 2008 pukul 07:30:00

Selengkapnya arsip tulisan beliau kukutipkan di bawah ini.

Republika, Minggu, 16 November 2008 pukul 07:30:00
Kehilangan Fatsun
Oleh: Haedar Nashir

Siapa berani melarang orang menikah? Menikah itu bahkan diharuskan dan dibenarkan oleh syariat. Tapi, ketika Anda menikahi anak di bawah usia akil balig dari rata-rata kelaziman dan norma umum, tidak keliru kalau muncul reaksi dan gugatan publik walau Anda memiliki materi melimpah dan dalih legal keagamaan secanggih apa pun sebagai kardus pembungkus.

Publik di negeri ini juga dibuat jengah dengan berbagai iklan politik. Dari biaya iklan yang jorjoran, penggunaan simbol dan sosok tokoh pahlawan nasional hingga pejabat publik yang memanfaatkan fasilitas negara untuk promosi diri yang kentara dan terselubung. Segudang dalih pembenar dan pembelaan dapat dijejalkan dengan penuh percaya diri. Bila perlu, pakai dalil agama dan niat baik. Namun, masyarakat luas memiliki nalar dan orientasi nilai yang tak dapat dinegasikan begitu saja.

Pasti selalu ada kilah dari semua tindakan yang kontroversial dan mengundang gugatan publik apa pun. Apa salahnya? Adakah aturan yang dilanggar? Hingga di sini, logika legal-formal sangatlah kuat dijadikan sandaran. Sungguh, tak ada larangan orang menikah, beriklan, memasang foto tokoh, dan apa pun yang menjadi hak dirinya. Bahkan, jika Anda mau jumpalitan di lapangan Monas sambil mempromosikan diri atau orang lain sebagai pahlawan nasional sekalipun. Suka-sukanya dia. Mengapa mesti diributkan.

Namun, hidup tidak cukup berufuk di atas logika-logika formal belaka. Lebih-lebih, di balik nalar legal-formal itu tersembunyi muatan-muatan kepentingan dan ketakwajaran yang mencederai hal-hal yang substansial dalam kehidupan bersama. Jangan pernah merasa terlalu nyaman bertindak di atas nalar formal. Apalagi, dengan predisposisi yang tinggi, seolah-olah paling benar sendiri. Jangan pernah atau sering berapologia ketika bertindak dengan keyakinan berlebih, merasa diri paling benar sambil memandang orang lain itu salah dan tidak paham pesan. Nalar publik memiliki hukum sosial tertentu yang juga objektif, selain intra-subjektif.

Jika sebanyak mungkin khalayak bereaksi negatif terhadap pilihan langkah dan tingkah kita, tak ada salahnya berintrospeksi diri. Lebih dari itu, masyarakat luas juga memiliki nalar rasional dan orientasi nilai ideal yang objektif. Apalagi, tingkah dan langkah yang kontroversial atau mengundang banyak reaksi itu hanya dibingkai oleh nalar praktis atau pragmatis belaka. Jangan pernah menganggap diri paling memiliki nilai ideal, sedangkan masyarakat dipandang miskin pemahaman.

Percayalah, pemahaman dan cara pandang tentang hidup itu tidaklah linier. Bahwa, arah hidup ini bukan sekadar hukum, aturan, dan ketentuan-ketentuan resmi belaka. Bukan pula sekadar urusan memenuhi kepentingan- kepentingan dan nilai kegunaan belaka sebagaimana pandangan kaum pragmatis. Di luar nalar formal dan kegunaan, terdapat nilai-nilai ideal yang dikonstruksi dan berlaku umum dalam kehidupan bersama. Salah satunya ialah fatsun alias tata krama atau sopan santun hingga moral atau akhlak yang berlaku umum di masyarakat.

Kata para sufi, di atas syariat ada hakikat dan makrifat. Di atas hukum dan sesuatu yang serba legal lahiriah, terdapat ufuk akhlak atau etika. Kepatutan, kelaziman, kepantasan, kebaikan, dan hal-hal yang utama dalam hidup bahkan banyak yang tidak tertulis, tetapi mengikat secara sosial dan kultural. Manusia hidup bersama tidak cukup sekadar bersandar pada formalitas belaka. Tetapi, juga pada nilai-nilai substansial atau esensial yang tumbuh dalam kehidupan yang jangkauannya serba melintasi.

Ketika Anda bertindak, bukan hanya benar atau salah, tetapi juga akan dipatok dengan standar baik-buruk dan pantas-tidak pantas. Tindakan benar-salah pun tidak selalu tertulis, bahkan hidup dalam kelaziman kolektif seperti tradisi dan kebiasaan. Jika muncul kritik, terimalah dengan kebesarah hati. Kritik bukanlah fitnah dan bentuk kekerdilan orang lain, tetapi sebagai koreksi keseimbangan. Nalar kolektif itu pun memiliki kekayaannya sendiri. Di sinilah mozaik kehidupan bersama antarumat manusia di muka bumi ini.

Agaknya, nilai-nilai fatsun, tata krama, dan akhlak sosial di negeri ini mulai tercerabut. Ruang publik dan kehidupan di banyak ranah terkesan lebih kuat dikatrol oleh orientasi nilai kegunaan (pragmatis, pragmatisme) tanpa bingkai nilai-nilai ideal. Orang menjadi terbiasa dan fasih untuk bertindak atas dorongan ambisi kuasa, materi, dan hal-hal duniawi dengan mengabaikan nilai-nilai ideal. Nilai-nilai benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas dikalahkan oleh kepentingan- kepentingan praktis. Akibatnya, banyak orang merasa boleh bertindak apa pun demi meraih keinginan dan tujuan.

Karena alam pikiran apa saja boleh, tidak sedikit orang bertindak semaunya. Semacam anarkisme. Jangankan fatsun yang tak tertulis, bahkan hukum pun dimanipulasi. Peraturan secanggih apa pun selalu dapat diakali. Namanya helah, yakni mengelak atau mencari siasat dari celah hukum dan peraturan untuk kepentingan sendiri. Kepantasan, kelaziman, kebajikan, dan hal-hal yang menyangkut nilai keadaban diletakkan di bawah hal-hal praktis dan pragmatis. Karena merasa benar secara legal-formal, muncul keangkuhan diri. Batharu al-haq wa ghamtu al-nas, sabda Nabi. Anda menolak pendapat orang banyak sambil menyepelekan mereka karena merasa diri benar.

Di atas kepatutan legal, terdapat kepantasan moral dan kelaziman sosial. Sandal jepit itu tidak jelek. Tetapi, apabila dipakai di sembarang tempat, akan berhadapan dengan nalar kepatutan sosial. Mengetuk pintu setiap rumah untuk kampanye memang tidak dilarang. Tapi, siap-siaplah jika muncul reaksi yang memancing konflik sosial. Ruang kultural yang longgar pun bisa jadi kian sumpek dan rawan perseteruan hingga ongkos sosial pun menjadi teramat mahal.

Kehidupan umat manusia tidak cukup memadai sekadar dicandra oleh kepentingan praktis dan formalitas belaka. Para wakil rakyat dapat menaikkan gaji sesuka otoritas yang dimiliki. Tapi, ingatlah kepatutan, kondisi sosial rakyat, dan hakikat amanah. Di atas hal-hal legal dan material, terdapat nilai fatsun hingga akhlak. Ufuk akhlak melampaui kepentingan dan pragmatisme hidup. Soal kepantasan, kebaikan, keadilan, ketenteraman, kemaslahatan, dan keutamaan perlu menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan dan tindakan.

Manusia hidup juga memerlukan kearifan, selain kepantasan. Bukan sekadar perjuangan meraih kesuksesan dan cita-cita hidup dengan alat-alat pragmatis. Juga, bukan sekadar otoritas kuasa. Orang Jawa punya kearifan lokal,ngono ya ngono ning ojo kayak ngono. Begitu ya begitu, tetapi jangan seperti itu. Demi meraih tujuan, Anda tidak boleh menghalalkan segala cara. Kalaupun tidak menabrak pagar haram, agama mengajarkan jauhi yang syubhat atau yang menimbulkan mudharat. Jangan merasa benar sendiri ketika melakukan tindakan yang menimbulkan reaksi keras dari masyarakat luas.

Banyak distorsi nilai. Agaknya, alam pikiran nilai guna jauh melampaui nilai ideal. Nilai guna mengajarkan orang untuk meraih apa pun yang berharga dalam hidup itu sejauh ada kegunaannya. Orientasi nilai guna dalam politik bahkan diajarkan demi meraih kemenangan dan ambisi politik yang menyala-nyala, segala cara harus dilakukan tanpa rasa sungkan. Soal alasan, dapat dibangun belakangan dengan logika post-vactum. Bila perlu, pakailah dalih agama sambil membodoh-bodohkan orang lain. Jika Anda kena kritik, klaimlah sebagai fitnah atau kedunguan orang awam, bukan karena Anda keliru.

“Kalau saya melanggar aturan, saya mundur dari caleg,” begitu kata seorang petinggi negara. Padahal, kalau mundur itu dipandang lebih baik, mengapa tidak dilakukan saja dengan kesadaran diri yang ringan. Tak cukupkah satu jabatan strategis di ranah kekuasaan negara jika benar-benar ingin berkhidmat untuk bangsa? Alangkah eloknya jika para petinggi negara itu berkonsentrasi mengurus amanat rakyat yang juga tak kalah beratnya tanpa harus loncat sana sini mencari jabatan baru. Jika terlalu banyak hasrat kuasa, yang tersisa hanyalah ketakbersungguhan. Padahal, negeri ini sungguh memerlukan pengkhidmatan yang total dari para elite pejabatnya sehingga urusan rakyat dan negara dapat ditunaikan dengan baik dan optimal.

Kita saat ini menjadi kian gagap dengan logika nilai ideal karena dominannya nalar guna dan kepentingan diri yang melampaui takaran. Nilai ideal mengajarkan agar dalam berpikir dan bertindak itu selalu mempertimbangkan nilai benar atau salah, baik atau buruk, pantas atau tidak pantas. Mereka memilih yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk, dan yang pantas dari yang tidak pantas.Wa yattabi’una ahsanahu, dan kamu ikuti jalan yang terbaik. Begitulah Allah memberi contoh manusia yang pandai menyeleksi nilai laksana sosok ulul albab yang memperoleh hidayah-Nya.

Mengapa tak belajar dari kearifan dan keteladanan para sahabat Nabi terkasih. Ali bin Abi Thalib urung membunuh lawannya di medan perang gara-gara sang musuh meludahinya. Ali tidak ingin membunuh lawan ketika amarahnya meluap mengalahkan motif jihad fi sabilillah dengan penuh keadaban. Karena kebaikannya, paman Nabi yang alim nan cerdas ini, ketika menjadi khalifah, rela disiasati Amr bin Ash hingga jabatannya pindah ke tangan Muawwiyah. Tapi, Ali telah memberi contoh keteladanan politik yang meletakkan nilai kejujuran dan ketulusan di atas nilai pragmatisme. Apalah arti kemenangan jika diraih dengan menggunakan segala cara. Tidak akan berkah.

Abu Bakar As-Shiddiq, baik sebelum maupun sesudah menjadi khalifah, memiliki kehidupan yang penuh uswah hasanah, mengikuti jejak Nabi. Dengan kesahajaan, ketenangan, dan kesantunan yang otentik, khalifah pertama ini melahirkan kharisma kepemimpinan yang agung. Umar sampai berkata, “Sungguh, engkau Abu Bakar membuat lelah khalifah sesudahnya.” Lelah untuk meniru atau meneladani karena begitu kaya dan luasnya samudra keteladanan khalifah pertama setelah kepemimpinan Rasulullah itu. Sebuah keteladanan yang tak dibuat-buat. Apalagi, jualan politik dan pesona luar.

Umar bin Khattab pun menghadirkan mozaik keteladanan yang kaya, baik sebagai pribadi maupun selaku pemimpin. Begitu pula Khalifah Usman dan para sahabat Nabi lainnya serta para salaf al-shalih. Umar; selain sosok pemimpin pengkhidmat pada rakyat, mujadid yang cerdas, dan bersih dari KKN; juga dikenal jujur dan mau mengakui kesalahan. Kendati menjadi khalifah yang perkasa, Umar tak pernah apologi ketika keliru atau salah. Umar bahkan pernah diajukan dan kalah di pengadilan oleh salah seorang warganya yang diterimanya dengan rendah hati. Ada keutamaan dan keteladan akhlak yang melampaui nalar formal dan simbolik belaka. Mereka adalah sosok teladan umat yang otentik tanpa terjebak pada sikap suka apologi, suci, dan merasa benar sendiri.

Itulah akhlak yang utama dan otentik. Keagungan perilaku ditunjukkan dalam kesahajaan, kewajaran, dan konsistensi apa adanya. Bahkan, akhlak pun tidak sekadar berhenti di ranah simbolik, sekadar pakaian luar yang gemerlap, tetapi dipraktikkan dalam dunia nyata. Selalu ada konsistensi antara idealisme nilai kebaikan dengan praktik empirik. Bahkan, di kala kritis, keteladanan yang otentik itu benar-benar teruji. Bukan sekadar pesona luar yang dibalut banyak topeng simbolik.

Kebaikan, kejujuran, kebenaran, kesalehan, dan nilai-nilai yang utama lainnya dalam hidup diuji ketika situasi-situasi kritis. Bukan pada situasi normal. Seorang ahli agama akan diuji keutamaan hidupnya bukan ketika di masjid atau tengah mengajarkan ilmu di tengah jamaahnya, namun tatkala dia berada di pasar, di ranah politik, dan di posisi-posisi publik yang memerlukan uji keteladanan. Begitu juga pejabat atau lembaga-lembaga publik, seperti partai politik, yang diuji kebaikan, kebersihan, pemihakan, dan pengkhidmatannya, bukan karena idiom atau retorikanya tatkala kampanye, namun setelah berkuasa atau meraih kemenangan.

Ranah publik saat ini agaknya tengah kehilangan mozaik fatsun hingga akhlak. Karena nalar praktis dan pragmatis kian dominan di tengah kepentingan- kepentingan duniawi yang melampaui dosis, akhirnya benteng akhlak pun roboh di halaman sendiri. Padahal, tatkala akhlak mulia roboh, peradaban bangsa pun kian dipertaruhkan. Kita akhirnya menjadi kian yakin, mengapa akhlak menjadi pilar utama dalam kerisalahan Nabi. Wa ma bu’istu illa li-utammima makarim al-akhlaq, aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak manusia, demikian Nabi Muhammad bersabda. Akhlak mulia yang termanifestasi dalam tindakan nyata. Bukan dalam klaim normatif dan simbolik yang penuh aksesori.
(-)

Scroll to top
error: Salam TIF-UAD